OKI, Deliknet.Com –Dunia pendidikan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) kembali diguncang isu serius. Polemik di SD Negeri 5 Pedamaran kini menyeret nama Kepala Sekolah baru, Sri Astuti, S.Pd, yang diduga belum memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki jabatan strategis tersebut. Dugaan ini bukan sekadar isu liar, melainkan berakar pada fakta administratif yang terang benderang.
Kepala Dinas Pendidikan OKI, <Muhammad Refly, S.Sos., M.M. melalui Kabid GTK, Herianto, S.Pd., M.Si. mengonfirmasi bahwa pihaknya akan memanggil Kepala SDN 5 Pedamaran guna dimintai keterangan. “Hari Senin ini akan saya panggil yang bersangkutan,” ujarnya singkat, Jumat (3/10/25). Pernyataan ini muncul setelah kabar dugaan pelanggaran aturan tersebut ramai diperbincangkan publik dan menjadi sorotan media lokal.
Namun, langkah pemanggilan ini justru menimbulkan pertanyaan baru: mengapa Dinas Pendidikan baru bereaksi setelah pemberitaan viral bukan sejak awal penetapan jabatan dilakukan? Publik menilai respons ini lebih bersifat reaktif daripada preventif memperlihatkan lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan di tubuh dinas yang seharusnya menjadi garda depan penegakan profesionalisme pendidikan.
Sementara itu, <span;>anggota DPRD OKI, H. Agustam, S.E., M.Si.,dengan tegas mendesak Dinas Pendidikan untuk memberikan klarifikasi resmi. Ia menilai bahwa penunjukan kepala sekolah dengan golongan 3B di sekolah favorit seperti SDN 5 Pedamaran jelas melanggar Permendikbud Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. “Aturannya gamblang. Minimal golongan III/c. Pengecualian hanya jika tidak ada guru 3C yang tersedia,” tegasnya.
Kritik tersebut beralasan. Pasal 7 ayat (2) Permendikbud memang membuka celah bagi guru dengan golongan 3B menjadi kepala sekolah, namun hanya jika tidak terdapat calon yang memenuhi kualifikasi di wilayah tersebut. Pertanyaan logis pun muncul: apakah benar di seluruh Kecamatan Pedamaran, bahkan di Kabupaten OKI, tidak ada satu pun guru dengan golongan 3C yang layak? Jika tidak, maka dugaan adanya “pilihan berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi” patut diselidiki.
Situasi ini menampar wajah manajemen pendidikan daerah. Jika aturan formal dari kementerian diabaikan, maka esensi meritokrasi yakni menempatkan seseorang berdasarkan kemampuan dan kualifikasi telah dirusak oleh praktik subjektif. Lebih parah lagi, hal ini dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah, sekaligus mengirim pesan buruk bagi dunia pendidikan: bahwa regulasi bisa dinegosiasikan bila menyangkut kepentingan tertentu.
Ketika dimintai tanggapan, Kepala SDN 5 Pedamaran, Sri Astuti memilih bungkam. Melalui suaminya, Adi Abraham ia hanya menyampaikan singkat, “Kalau mau tanya golongan, langsung ke Dinas Pendidikan saja.” Pernyataan ini menambah kesan bahwa polemik ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan juga cermin lemahnya transparansi dan tanggung jawab publik di lingkungan institusi pendidikan. Masyarakat kini menanti langkah nyata Dinas Pendidikan OKI untuk menegakkan aturan, bukan sekadar meredam kegaduhan media.(TIM FWP)













